Sehari dalam Kehidupan Seorang Salesman

Salesman
Salesman

Pertama

Orang-orang muda, lelaki dan perempuan usia 20 tahunan nampak antre memadati sebuah kantor di kawasan Fatmawati yang akan melakukan seleksi terhadap calon tenaga kerja. Para pemuda dan pemudi yang masih krenyes-krenyes itu membawa surat lamaran masing-masing ketika di sebuah koran ibu kota diiklankan pengumuman: sebuah perusahaan membutuhkan sekian puluh tenaga kerja bagian gudang, sekian puluh office boy, sekian puluh manajer, sekian puluh staf administrasi, dan sekian puluh yang lain. Lingkaran perkenalan yang baru melahirkan kalimat berita di atas. Sama-sama muda, sama-sama butuh kerja, membuat komunikasi cepat terjalin.
Seleksi di hari itu berupa training satu hari penuh bersama satu orang “senior surveyor.” Kalau satu hari itu kandidat karyawan bisa tahan, ia bakal lulus jadi…sales! Namun para supervisor dan salesmannya bersikeras: kita bukan sales! Kita adalah: “surveyor.”  Baiklah, boleh juga disandangkan istilah-istilah lain yang lebih elegan: marketing, merchandiser, field operator, atau interviewer.
Belum sampai tengah hari, sudah berpuluh calon “surveyor” berguguran. Yang satu karena kecil hati bahwa pekerjaan itu tak ubahnya pedagang asongan berdasi. Yang lain karena dilarang emaknya jadi sales. Yang lainnya lagi karena merasa diri tak pandai merayu pembeli.  Yang satunya karena melihat peluang yang terlalu kecil dalam kerja yang sedemikian keras dan menguras energi.

Kedua

Sejak menjadi “sales,” bahan bacaan harus ditingkatkan, misalnya dari baca Ali Oncom dan Doyok di koran Pos Kota ke buku-buku Dale Carnegie, David Schwardz, Zig Ziglar, Stephen Covey, atau The Power of Kepepet-nya Jaya Setiabudi. Seorang sales adalah pejuang di lapangan. Fisik mereka harus tahan banting, karena harus berjalan kaki berkilo-kilo meter jauhnya menemui calon pembeli dari pintu ke pintu. Tenggorok dan lidah mereka harus lentur agar dapat berlama-lama melobi, menerangkan keadaan barang, dan membujuk konsumen. Sementara otak mereka harus cukup gendut dengan motivasi, karena motivasi dan cita-cita itulah modal yang tersisa.
http://jadiberita.com
Citra diri, sekali citra diri harus dipoles dan dipertahankan dalam bentuk dandanan yang rapi. Meskipun padanya ada yang nampak sedikit “dipaksakan.” Lihatlah dasi itu! Itu dasi yang bisa dibeli dengan harga murah di kios-kios dasi bekas. Kemeja dan celananya tidak juga mengilap seumpama makhluk-makhluk kantoran, melainkan kemeja dan celana yang agak lusuh dan murahan. Soal model rambut …masih sama seperti gaya rambut pemuda di kampung sebelah. Tetapi untuk speak-speak…bolehlah. Lincah seperti penyiar radio. Sepatunya juga bukan sepatu mahal. Cukup sepatu lima puluh ribu yang bisa mengilat hanya dengan diusap air.
Salesman kita adalah pemuda gagah sesungguhnya, yang belakangan jadi tambah jerawatan karena wajahnya sering diterpa angin dan debu.

 Ketiga

Tibalah saya di sebuah kantor kecil di kawasan Pasar Minggu yang berisikan jejeran meja-meja. Masing-masing meja dihuni satu orang pewawancara. Yah, ketika masih menunggu giliran wawancara, belum apa-apa saya sudah ditegur karena melamar cuma pakai kaus panjang, tidak berkemeja, dengan celana komprang dan tanpa sepatu, melainkan bersandal ikat. Singkatnya, saya dinilai sembrono untuk seorang pelamar profesional.
Lantas nama saya dipanggil. Dengan agak berdebar saya mendekati meja seorang mbak-mbak yang di dekatnya dipasang kipas angin ukuran besar.
“Ya, mas bisa diterima kerja di sini, tapi harus menjalani tes lapangan dulu.”
“Apa itu, Mbak?”
“Masnya harus menjual panci ini, seharga sekian-sekian, terserah masnya mau jual ke saudara, teman, atau siapa saja, yang penting waktunya seminggu. Kalau seminggu tidak laku, masnya tidak lulus.”
“Terus, kalau misalnya saya lulus, saya jadi apa, Mbak?”
“Ya, jadi seperti kita begini.”
Keluar dari ruang wawancara, seorang pria gemuk, bertanya-tanya dengan agak mendesak kepada saya. “Mas, jadi apa? Disuruh jual panci, ya?”
Saya mengangguk.
“Hoalah, tobat! Tobat!” ujarnya sambil menepuk jidat. Rupanya sudah berkali-kali dia “terjebak” iklan lowongan kerja di koran, yang ujung-ujungnya pelamar disuruh menjualkan barang.
Jadi sales.

Keempat

Si polan dan si polan sudah sukses bisnis MLM. Ya tentu mereka jadi sales terlebih dahulu, sebelum naik pangkat, jadi koordinator, supervisor, manajer, dan seterusnya sampai jadi bos yang kerjanya ongkang-ongkang kaki. I love to see him mengenakan pakaian yang rapi dan berkelas, jins yang mendingan, sepatu dari harga lumayan, parfum yang bertaburan, asap rokok yang mengepul-ngepul, dan gaya bicara yang tidak membosankan. Semangatnya dia pinjam dari buku-buku motivasi. Kalau dia bicara dia jadi dosen, kita jadi mahasiswa. Kalau dia berteori, kita harus timpali dengan teori lain yang lebih runyam. Pemuda yang satu ini asalnya memang necis, jadi dia adalah salesman yang natural, dan lumayan sukses pula secara material. Paling tidak, sepeda motornya sudah ganti dalam tempo kurang dari 12 bulan. Menurutnya untuk sukses di MLM Herbal itu dia harus kerja keras sedikitnya 3 tahun, dan ini baru masuk tahun yang pertama.
Saya tidak merokok dan anti-rokok, tetapi umumnya orang yang merokok enak kalau diajak ngobrol. Saya jadi teringat buku terjemahan bikinan Malcolm Gladwell, Tipping Point, bahwa memang ada orang dengan tipe kepribadian salesman semacam itu. Sesungguhnya di hari gini ketiga tipe kepribadian yang disebut Gladwell: konektor (orang yang jaringan pertemanannya luas), maven (orang yang berpengetahuan mendalam), dan salesman (orang yang punya daya persuasi mumpuni) serasi belaka dengan teori emotional intelligence-nya Daniel Goleman. Karena “salesman intelektual” begitu saya menyebutnya, melahap segala buku dan bacaan, ikut seminar dan acara-acara talk show, bertemu dengan orang-orang, mempraktikkan ilmu yang dia pelajari dan bekerja dalam arti sesungguhnya di lokasi kejadian …
Salesman adalah ujung tombak, sebab keterampilan menjual itulah yang mendatangkan laba. Coba bayangkan, para artis berkarya, yang jual pedagang (salesman), para penulis mengarang, yang jual pedagang (salesman), pabrik-pabrik memproduksi, yang jual salesman, para insinyur merancang, yang jual salesman, jika anda cukup bisa menjual dan tahu dari mana produk atau barang didatangkan..di situ anda bisa memainkan harga dan merengkuh keuntungan…

Kelima

Sekarang saya memutuskan untuk tidak lagi bekerja jadi salesman. Setelah dua bulan jadi sales motoris, nafas saya tidak pernah wajar. Batuk berdengking-dengking tengah malam. Bodi lemas dan gampang kesemutan. Masuk angin tidak sembuh-sembuh. Si kuda besi (motorku) suaranya makin parau saja. Sama seperti penunggangnya, kami sama-sama sakit dan menderita. Bos saya begitu baik dan pengertian, melihat salah seorang salesman nampak lunglai kehabisan tenaga dan motivasi, maka siang itu saya diajak ngopi. Bos saya ini dasarnya berkepribadian salesman juga. Setelah sedikit ngalor ngidul dan bercanda-canda, saya diminta berhenti bekerja sebelum kontrak selesai. Uang gaji bulan depan dikasihkan sebagai pesangon tidak resmi dari bos yang begitu baik hati. Hari itu, kawan, saya resmi dipecat.
Gue emang disuruh kerja sama ibu gue, kerja apa aja, asal jangan jadi sales!”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT LAMAHOLOT

END OF THE SPEAR