Mudik Natal (bukan) Sebuah Keharusan
Merayakan Natal tanpa kehadiran orang terdekat, yang tinggal
jauh di kampung halaman, rasanya kurang afdol. Ada kerinduan tersendiri
yang tak terelakkan. Mudik menjadi solusi. Tapi apakah itu sebuah
keharusan?
Jika para perantau memilih merayakan Natal di tanah kelahiran,
jauh-jauh hari perlu persiapan dan perencanaan. Mulai dari estimasi
biaya dan lama cuti yang harus diambil. Tentu tidak murah, padahal waktu
cuti terbatas. Lalu, dari semua tantangan itu, mengapa perantau tetap
memilih merayakan Natal di kampung halaman? “Karena pada hari-hari
keagamaan, hampir semua keluarga sepakat untuk kumpul. Nah, kalau dia
berada di luar kota, maka terpikirkan oleh dia untuk ikut bergembira
dalam satu ikatan keluarga. Hampir semua agama begitu, tak terkecuali
ketika merayakan Natal,” jelas Singgih Wibowo Santoso, SU (60), dosen
Jurusan Psikologi, Universitas Gadjah Mada.
Selain ingin bertemu orangtua, kebiasaan Natal yang tidak dijumpai di
perantauan kerap menimbulkan kerinduan. Bagi sebagian orang Batak,
Manado, Ambon, Papua, dan daerah lain, merayakan Natal di kampung adalah
momen yang unik. Tidak pantas dilewatkan begitu saja. “Ya, tentunya
mereka membayangkan kumpul dengan keluarga dalam suasana gembira,
suasana bahagia, lalu pergi ke gereja bersama-sama. Ini merupakan hal
yang menyenangkan,” ujar jemaat GKJ Minomartani, Yogyakarta.
Karena Urbanisasi
Ada beberapa aspek yang mencakup nilai-nilai budaya yang terkait
dengan mudik Natal. Antara lain, nilai hubungan manusia dengan waktu.
Mudik Natal biasanya dimanfaatkan untuk membangun kebersamaan. Ada juga
hubungan manusia dengan sesama, sehingga melalui mudik saat Natal,
seseorang bisa merajut hubungan sosial dalam keluarga.
Lainnya, nilai hubungan manusia dengan pekerjaan. Mudik Natal
dianggap tidak mengganggu efektivitas kerja karena dianggap lebih
berharga daripada uang. Serta, nilai hubungan manusia dengan hakikat
hidup, mudik dapat membangun iman dan mempererat keintiman dengan Tuhan.
Haryadi Baskoro, S.Sos.,MA.,M.Hum., dosen Sosiologi STT Tawangmangu,
tidak tahu pasti sejak kapan mudik Natal menjadi kebiasaan umat
kristiani. “Perlu riset khusus yang luas.” Ia juga menambahkan,
kecenderungan mudik tumbuh sejalan dengan kecenderungan tumbuhnya
urbanisasi.
Manfaat Mudik
Sedikitnya, ada lima manfaat saat melakukan mudik Natal. Pertama,
membangun kebersamaan hidup berkeluarga. Dua, memulihkan
hubungan-hubungan yang retak. Contohnya : antara orangtua dan anak.
Tiga, membangun kebersamaan umat Nasrani di daerah. Empat, menjadi
kesempatan bagi para perantau untuk berbagi berkat. Kelima, memperkuat
keberadaan kekristenan di daerah, khususnya kantong-kantong kristen.
Perpaduan budaya di perantauan adalah salah satu penyebab lunturnya
budaya daerah. Saat mudik, hal ini dapat diminimalisasi, dengan cara
beradaptasi kembali dengan budaya setempat.
“Ada beberapa penyebab seseorang selalu memilih pulang ke rumah saat
Natal, di antaranya karena kelekatan dengan kehidupan sosial di daerah
asal masih kuat. Lalu cinta daerah asal yang masih tinggi. Jika daerah
asal merupakan daerah kristiani, maka akan dirasakan sebagai pusat atau
“ibu” yang tidak boleh dilupakan,” papar Haryadi.
Namun, tentu saja tidak tiap tahun para perantau bisa mudik untuk
merayakan Natal di kampung. Banyak faktor yang diperhatikan, terutama
besaran biaya perjalanan. Bila seorang perantau di Pulau Jawa berasal
dari Tapanuli atau Manado melakukan mudik seorang diri, tentu tidak
sebesar ongkos yang diperlukan ketimbang bersama keluarga.
Visi Mudik Natal
Karena mudik Natal bukan suatu kegiatan rohani yang sifatnya
keharusan, masalah dana dan waktu perlu dipertimbangkan matang-matang.
Ini untuk menghindari kesan terlalu memaksakan diri. Justru yang harus
menjadi tujuan untuk melakukan mudik adalah visi pelayanan. “Setiap anak
Tuhan harus memiliki visi yang jelas atas apa yang dilakukan. Mudik
Natal harus dilakukan dengan visi pelayanan,” tandas dosen yang juga
mengajar di AKINDO dan STIKES Wira Husada, Yogyakarta.
Pendapat ini diamini Pdt. Rudy Imanuel Ririhena (49). Menurutnya,
kalau pulang kampung untuk merayakan Natal, itu bagus-bagus saja, karena
di situ ada kegembiraan bersama. Tentunya ada tradisi Natal di kampung
yang biasa dilaksanakan bersama.
Tapi, yang terpenting dan perlu diingat apakah kita pulang hanya
sekadar merayakan Natal atau ada esensi lain daripada itu. “Bagi umat
Nasrani, saat merayakan Natal adalah saat kita berjumpa dengan bayi
Natal. Kalau itu yang menjadi konsepnya, di mana saja kita bisa
merayakan Natal, itu yang harus menjadi perhatian kita. Kalau fokusnya
demikian, merayakan Natal dan pulang kampung itu tidak wajib hukumnya,”
ujar pendeta kelahiran Wassu, Ambon.
Pengalaman ketika Pdt. Rudy melayani, hampir lima puluh persen jemaat
yang dipimpinnya tidak merayakan Natal di gerejanya. Hal ini
menunjukkan bahwa ada jemaat yang mudik atau memiliki kegiatan saat
Natal.
Persekutuan Tubuh Kristus
Perjalanan mudik Natal lebih baik dilakukan dengan niat dan damai
sejahtera. Terlebih momen itu untuk menyambut sang Juruselamat. Jika
tidak memiliki kesempatan untuk merayakan Natal di kampung halaman,
jangan berkecil hati. “Kita ini kan satu tubuh dalam Kristus dan kita
adalah anggota tubuh-Nya dan terjadi persekutuan di dalam-Nya. Jadi
walaupun kita saling berjauhan, kita merasakan ada kedekatan. Ini
merupakan persekutuan dengan tubuh Kristus,” ujar Ketua II Sinode GPIB
yang membidangi Pendidikan dan Pembinaan Peranan Keluarga.
Buah damai sejahtera ketika merayakan Natal di kampung halaman
merupakan hal utama. Haryadi Baskoro menekankan kembali visi umat
Nasrani dalam melakukan mudik Natal yaitu visi untuk melayani Tuhan dan
sesama. “Dengan visi itu, maka kedatangan kita ke kampung dapat
berempati, mendukung, dan mengasihi mereka.”
Dalam Kristus, meski kita berjauhan saat merayakan Natal, kita bisa
merasa dekat. Namun, ketika para perantau memutuskan untuk mudik, tidak
jadi masalah. Semua kembali kepada yang melakukannya. Yang terpenting
dana cukup, tidak merepotkan keluarga yang didatangi, dan ada motivasi
pelayanan di dalamnya.
Sumber: Majalah Bahana, Desember 2010
Komentar
Posting Komentar