Menjadi Perawan di Sarang Perjaka
Pernahkah Anda merasakan atau membayangkan menjadi seorang perempuan di tengah-tengah kaum lelaki? Saya merasakannya setelah dua bulan menjadi kompasianer. Yang saya maksudkan, saya merasa menjadi seorang blogger feminin yang kesepian di tengah hiruk-pikuk sebuah media maskulin yang bernama Kompasiana.
Ditilik dari nama dan slogannya, Kompasiana memang terkesan feminin. Begitu pula interaksi antara para kompasianer. Namun di luar 3 hal tersebut, saya rasa media ini 100% maskulin.
Baru desain grafisnya saja kita sudah bisa merasakannya. Penampilan media ini berlatar putih (maskulin) seraya menonjolkan warna-warna maskulin (seperti hitam, biru, dan oranye). Warna-warna feminin (seperti pink, tan, dan ungu) hampir tak pernah terlihat. Dekorasinya pun berupa garis-garis hitam tegas yang khas maskulin. Saya belum pernah menjumpai dekorasi yang berupa garis-garis lengkung berwarna-warni yang khas feminin di Kompasiana.
Bagaimana dengan tataletaknya? Media ini ditata dengan struktur arsitektur yang khas maskulin. Isinya dirancang sedemikian rupa, sehingga memacu aktivitas otak kiri yang khas maskulin. (Contohnya: “Teraktual” lebih ditonjolkan daripada “Menarik”.) Tataletaknya cenderung kurang memicu aktivitas otak kanan yang khas feminin.
Begitu pula sikap Admin dalam memilih artikel-artikel yang dipajang di Headline (HL), Highlight, dan Terekomendasi. Semakin maskulin (atau semakin memacu aktivitas otak kiri) suatu artikel, semakin besar peluangnya untuk dipilih oleh Admin. Sebaliknya, semakin feminin (atau semakin memicu aktivitas otak kanan) suatu artikel, semakin kecil peluangnya untuk terpilih. Walaupun tak jarang karya kompasianer wanita dijadikan HL, hampir semuanya bercorak maskulin pula.
Dengan sikap Admin yang begitu, para kompasianer pun (baik pria maupun wanita) cenderung menulis artikelyang maskulin pula. (Saya sendiri pun terkadang terseret arus untuk menulis dengan gaya maskulin walau sebenarnya lebih senang bergaya feminin.)
Secara demikian, mudahlah bagi saya bila diminta untuk merekomendasikan tulisan-tulisan kompasianer yang merangsang kecerdasan analitis dan verbal kita. Sebaliknya, sulitlah bagi saya untuk menunjukkan artikel-artikel kompasianer yang melejitkan kecerdasan emosi dan spiritual kita.
Dengan menyadari kenyataan-kenyataan seperti itu, saya merasa “menjadi seorang perawan lugu di sarang perjaka-perjaka berpengalaman”. Dengan kata lain, saya merasa sendirian di tengah keramaian. Padahal, saya bukanlah wanita yang betah mengurung diri.
Karena itu, bila kemudian saya lebih sering “jalan-jalan” bersama dengan rekan-rekan di A Sia Na, maka itu bukan berarti saya ngambeg atau pun berusaha memutus tali persahabatan dengan para kompasianer lainnya.Saya hanya ingin lebih feminin dan menajamkan otak kanan saya. Itu saja.
——-
Komentar
Posting Komentar