Aku Masih Kuat
Pria paruh baya yang duduk di hadapanku mulai bercerita dengan serius, setelah kami berdua berkelakar kesana kemari. Dia bercerita tentang persoalan dalam keluarganya. Memang dari segi usia, aku masih jauh lebih muda darinya, namun sebagai sesama kepala keluarga kami mungkin mempunyai persoalan yang hampir sama. Beberapa tahun yang lalu dia menderita sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Ada gumpalan lemak di jantungnya, yang harus disedot keluar. Setelah menjalani perawatan secara intensif, akhirnya dia dinyatakan sembuh total dan menurut dokter, dia dapat beraktifitas seperti biasanya.
Namun lain halnya dengan pandangan istri dan anak-anaknya. Istilah penyakit jantung membuat mereka ketakutan, sehingga sekalipun si bapak sudah sembuh, namun mereka memberikan perlakuan yang sangat berbeda dengan saat sebelum sakit. Istri dan anak-anaknya benar-benar menjaga agar ‘sakit jantung’ sang bapak tidak kambuh lagi. Sejak saat itulah persoalan demi persoalan mulai muncul. Persoalan pertama ketika dunia kerjanya ditutup. Dia tidak lagi dapat bekerja seperti dahulu lagi, pekerjaan itu dianggap anak dan istrinya terlalu berat baginya. Dia sempat mengalami stress berat karena dunia pekerjaan yang selama ini digelutinya dengan sepenuh hati, dia lakukan dengan penuh kesungguhan karena memang dia sangat gemar di dunia itu, harus berakhir. Tubuhnya terasa lemas, dan dia tak tahu lagi apa yang harus dia pikirkan. Hari demi hari menjadi aliran waktu yang berjalan sangat lamban dan menyiksa dirinya. Dalam keadaan seperti itu, hal-hal kecil kemudian menjadi pemicu persoalan lain.
Di satu sisi, dia merasa bahwa dirinya masih kuat, masih ada tanggung jawab yang harus ditanggungnya. Masih ada anak-anak yang masih sekolah dan membutuhkan biaya untuk itu. Namun dunia seolah memandangnya sudah jompo dan tak mampu berbuat apa-apa. Di sisi lain, dia memahami bahwa apa yang dilakukan istri dan anaknya dalah karena mereka mencintai dan menyayangi dirinya. Namun, kasih sayang itu menjadi ikatan yang membelenggu setiap geraknya, dan menyiksa batinnya. Pernah suatu saat dia sagat marah, ketika sang istri menyuruh anaknya untuk menyiapkan air panas untuk mandi bapaknya. Perasaan tak berarti, lemah, dan harus dilayani dalam segala hal, membuat dia marah dan terjadilah percekcokan. Hari demi hari berlalu dengan persoalan yang sama dan selalu sama.
Kondisi yang terus menekan, membuatnya kembali sakit. Namun bukan sakit jantung tetapi dia harus menjalani perawatan psikiater. Lambat laun konsultasi dengan psikiater membuatnya sedikit lebih ringan dan mau menerima kenyataan diperlakukan berbeda dengan dahulu.
Pria itu berhenti bercerita, dan kulihat pandangannya seolah menjenguk masa ketika dia bebas beraktivitas. Dari ceritanya, mendapatkan kesimpulan yang sungguh sangat menarik untuk kurenungkan. Menjadi tidak berarti, kehilangan fungsi, sungguh menjadi saat yang paling menyiksa dalam hidup ini. Aku berharap ketika hal itu harus terjadi padaku, anak-anakku sudah dapat hidup mandiri.
Malam menjelang tidur, aku mengambil kitab suci dan kubuka lembar demi lembar tanpa kubaca. Setelah lelah membolak- balik lembar demi lembar, kitab suci itu kututup lagi. Aku menatap ke arah langit-langit kamar, dan kulihat titik hitam menempel pada langit-langit. Titik hitam itu kecil di tengah warna putih eternit. Hitam, kecil dan tak berarti di dalam bentangan warna putih yang mengelilinginya. Hitam, kecil dan menjadi noda yang membuat kotor eternit yang putih bersih.Noda itu menyadarkan diriku akan kehidupanku sendiri. Adakah aku berati di dalam bentang kebesaran Allah? Pikiranku melayang jauh, membentuk ruang tanpa batas yang membuat diriku sendiri sama sekali tidak tampak. Sampai pada batas antara sadar dan tak sadar, sekilas tampak olehku bayangan Salib yang tergantung di dinding kamar. Ada sosok tergantung di sana, Yesus. Dia telah melakukan pengorbanan untuk mengungkapkan bahwa hidup ini penuh arti. Aku tersentak bangun dan duduk di pembaringan. Bayangan yang hanya sekilas itu membuat kantukku hilang sama sekali. Aku keluar dari kamar, menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kuambil rosario dan aku pun berdoa di teras rumah. Tepat ketika aku menyebut nama bapak yang tadi sore bercerita tentang kehidupannya padaku, aku tersenyum dan berbisik, “Hidup kita, sangat berarti bagiNya. Cintailah Dia, maka hidup kita akan semakin berarti.” Aku berharap angin malam membawa bisikanku melayang dan sampai padanya.
Seperti dikutip dalam Ranting Embun edisi 28 Juni 2009
Oleh : G. Garuda Sukmantoro
Komentar
Posting Komentar