Dia Sudah Diam
Di rumah itu, suara yang paling dominan adalah suara Dyah. Dia paling banyak bicara, paling banyak berkomentar, dan sepertinya tak ada satupun yang bisa luput dari pendapatnya. Tapi Pak Agus, dan Bu Retno (ayah dan ibunya) dan saudara-saudaranya melihat Dyah sebagai sang penghibur di rumah itu. Tanpa Dyah, rasanya rumah menjadi sepi bagaikan kuburan. Dyah kini diam. Dia diam di dalam pusaranya yang masih baru. Tiga hari yang lalu Paulina Dyah Cahyawati menghembuskan nafas yang terakhir, setelah berjuang melawan virus ganas yang menyerang otaknya selama satu bulan. Hari-hari terakhir kebersamaannya dengan keluarga menjadi saat-saat yang sangat mengharukan.
Ketika dokter sudah menyatakan menyerah, dan menyarankan Dyah yang mengalami koma untuk dibawa pulang, terjadi pertentangan yang hebat anatara ayah dan ibunya. Ayahnya berpikir realistis dan setuju dengan saran dokter, sementara ibunya bersikeras bahwa Dyah tetap harus berada di rumah sakit sampai kapan pun. Beliau akan menjual apapun untuk mempertahankan Dyah dan siap untuk tidak memiliki apapun asalkan Dyah bisa diselamatkan. Bu Retno menunggu sebuah mukjizat untuk mengembalikan Dyah kepadanya.
Pertentangan itu baru berakhir setelah Dyah dinyatakan meninggal. Di depan jenasah Dyah, semua diam. Bayangan Dyah seperti menari-nari di benak mereka masing-masing. Dyah yang cerewet, yang sering usil, yang sok tahu, dan penuh keceriaan masih demikian jelas tingkah lakunya di dalam ingatan mereka. Bu Retno berualang kali pingsan, dan Pak Agus hanya diam dengan mata sembab. Doni dan Riko diam di kamar, entah apa yang mereka lakukan. Saudara-saudara yang datang sibuk mengurus persiapan pemakaman, dan menghibur Bu Retno.
Tiga minggu sudah mulut Dyah diam dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Pagi itu mendadak Bu Retno menangis di dalam kamar. Suaminya menduga bahwa istrinya menangis tentu karena ingat pada anaknya, Dyah. Ketika dia mendekat hendak menghibur, istrinya berpaling dan berkata,
“Pak, Dyah menemuiku semalam. Dia tidak berkata apa-apa, dia hanya berdiri dan diam, tapi tubuhnya…menggigil seperti kedinginan. Kasihan dia Pak, kasihan anak kita!” Tangis pun kembali pecah.
“Bu, ibu hanya mimpi. Dyah anak kita sudah tenang bersama Yesus dan Bunda Maria di sorga.”
“Tidak, Pak! Dyah membutuhkan kita. Dia kesepian, tak ada seorang pun di dekatnya, dia menggigil kedinginan dan menatapku meminta pertolongan. kasihan Dyah…Pak! Kasihan anak kita….!”
Pak Agus tak mampu berkata apa-apa lagi, dia memeluk istrinya yang menangis semakin keras. Pintu terbuka, Doni dan Riko yang sudah siap untuk berangkat sekolah, berdiri termangu. Pak Agus melambaikan tangan agar mereka mendekat. Mereka segera melatakkan tas, dan mendatangi ibu mereka. Keduanya memeluk Bu Retno yang masih sesenggukan. Lama kelamaan tangis Bu Retno reda. Suasana hening, semua diam dalam benak masing-masing. Jam dinding di kamar menunjuk pukul 08.30. “Don, dan kamu Riko. Hari ini kalian tidak usah berangkat sekolah, toh sudah terlambat lama. Hari ini kita akan ke makam mbak Dyah.” kata Pak Agus. Doni dan Riko mengangguk, mereka segera beranjak untuk berganti pakaian. Bunga-bunga dan krans masih menggunung di pusara Dyah. Ayah, Ibu, dan adik-adiknya berlutut di sampingnya. Dyah sendiri termangu menatap mereka. Ada yang hendak dia katakan, namun mereka sepertinya tidak mendengar. Hanya ketika mereka mulai berdoa, dia seperti mendengar nyanyian indah yang membuatnya merasa terhibur. Ketika doa rosario mulai berkumandang, sesosok wanita dengan getaran seorang ibu datang menghampirinya, lalu membawanya pergi entah kemana. Namun Dyah yakin, bahwa wanita itu adalah Bunda Maria.
Seperti dikutip dalam Ranting Embun edisi 19 Juli 2009
Oleh : G. Garuda Sukmantoro
Komentar
Posting Komentar